Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan dalam naskah Siksa Kandang Karesyan, yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. 

Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. 

Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuno sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung.


Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal nama R. Aria Cikondang (abad ke-17), Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad ke-19). Di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung (awal abad ke-20) dan Pantun Beton "Wikatmana" (pertengahan abad ke-20); dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng.

Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya menggunakan kacapi siter (Jawa). Adapun tangga nada (laras) yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.


  Pertunjukan pantun merupakan pertunjukan khas Sunda dilakukan dalam malam suntuk untuk memenuhi permintaan keluarga yg mempunyai hajat atau acara, contohnya selamatan atau syukuran sehabis panen, membangun rumah, menyunati anak, atau menikahkan anak, dan lainnya. Sebagai mana halnya ungkapan budaya dahulu lainya, seni pantun tidak lepas dari unsur-unsur budaya lainnya seperti pandangan hidup, agama, dan kepercayaan, adat istiadat, serta pengaruh alam dan lingkungan. 

    Di dearah tertentu pantun masih digemari masyarakat meskipun dalam jumlah yg semakin mengecil dan hampir sudah tidak ada lagi pertunjukan pantun. Hal ini disebabkan oleh pengaruh jaman dan kemajuan teknologi sehingga pertunjukan pantun kalah bersaing, kita sebagai generasi penerus bangsa harus bisa melestarikan budaya yang sudah ada sejak lama dari leluhur kita, agar tetap di kenal dimata masyarakat indonesia

UNTUK MENONTON FILM TENTANG PANTUN SUNDA👇

Post a Comment